ANAK KETURUNAN

Malam baru turun ketika Nabil menaiki mimbar kayu di dalam masjid. Wajahnya tenang, sorot matanya tajam, dan suaranya lantang. Jamaah di hadapannya berjumlah puluhan, terdiri dari orang-orang kampung yang datang dengan sarung dan peci lusuh, ibu-ibu dengan mukena kusam, serta beberapa pemuda yang setengah tertidur di saf belakang.



"Saudara-saudaraku," Nabil memulai, "zaman semakin berubah. Banyak orang lupa bahwa hidup ini adalah ladang amal. Kita diberi waktu di dunia bukan untuk bersenang-senang, tetapi untuk beribadah, untuk memberi manfaat bagi sesama."

Orang-orang mengangguk. Mereka sudah sering mendengar ceramah semacam ini.

"Tetapi bagaimana kita bisa memberi manfaat?" lanjutnya. "Dengan menegakkan shalat, bersedekah, membantu mereka yang lemah. Jangan sibuk dengan duniawi semata, jangan sibuk hanya mencari harta!"

Beberapa jamaah saling melirik. Mereka tahu, Nabil berbicara tentang kesederhanaan, tentang berbagi, tentang kepedulian. Tapi, ada yang terasa ganjil. Mereka yang mendengar ceramah ini adalah mereka yang sudah hidup dalam kesederhanaan. Yang mencari nafkah dengan menggarap sawah, berdagang kecil-kecilan di pasar, atau bekerja serabutan untuk sekadar bisa makan.

Sementara Nabil, anak Kiai Mahfudz, hidup dalam rumah besar, berdinding kokoh, beratap genteng mahal, dengan kendaraan yang selalu terparkir rapi di halaman.

Namun tak ada yang berani menegur.


Hari-hari Nabil tak jauh berbeda. Bangun pagi, shalat, mengaji, lalu menghadiri pertemuan-pertemuan dengan orang-orang penting di pesantren yang dipimpin ayahnya. Ia memang bukan santri biasa, ia adalah pewaris takhta, anak sulung dari seorang kiai yang dihormati.

Sementara itu, di luar lingkungan pesantren, pemuda-pemuda kampung lainnya menjalani hidup yang berbeda. Salah satunya adalah Karna.

Karna bukan pemuda yang rajin datang ke masjid. Bukan karena ia tak beriman, tetapi karena baginya, ibadah tak hanya ada di dalam sajadah. Ia percaya bahwa kerja keras adalah bagian dari ibadah, bahwa tangan yang kasar karena bekerja adalah tanda sujud yang lain.

Setiap hari, ia dan beberapa pemuda kampung memanggul karung berisi padi, membantu para petani menjemur hasil panen, atau turun langsung ke sawah. Ia hidup dari upah kecil yang didapatnya, cukup untuk makan dan memberi sedikit untuk ibunya yang sudah tua.

Suatu siang, Karna duduk di warung kopi, menghirup aroma pahit yang tipis-tipis bercampur dengan bau tanah setelah hujan. Ia mendengar dua orang di meja sebelahnya membicarakan pengajian tadi malam.

"Nabil itu pintar bicara," kata salah satu.

"Iya, tapi bisakah ia turun ke sawah dan membantu orang-orang yang dia nasihati?" sahut yang lain, setengah berbisik.

Karna tersenyum kecil. Ia sudah lama ingin mengajukan pertanyaan yang sama.


Malam itu, setelah pengajian usai, Karna memberanikan diri menghampiri Nabil yang tengah berbicara dengan beberapa santri di beranda masjid.

"Nabil," panggilnya.

Nabil menoleh. Wajahnya tetap tenang, tetapi ada sedikit rasa heran di matanya.

"Ada yang ingin aku tanyakan," kata Karna.

"Tanyakanlah," jawab Nabil.

Karna menatapnya tajam. "Aku sering mendengar kau bicara tentang berbagi, tentang kepedulian. Kau selalu mengatakan kita harus membantu yang lemah. Tapi aku ingin tahu, seumur hidupmu, pernahkah kau turun ke sawah? Pernahkah kau membantu seorang janda menjemur padinya? Atau membawakan beras untuk tetangga yang kelaparan?"

Hening. Para santri yang ada di sekitar mereka mulai berbisik-bisik, ada yang menahan tawa, ada yang terkejut.

Nabil menelan ludah. Ia ingin marah, tetapi ia sadar pertanyaan itu bukan sekadar tantangan. Itu adalah tamparan.

Ia menatap Karna, mencari kata-kata yang tepat.

"Aku... aku mengajarkan apa yang benar," jawabnya akhirnya.

"Tapi apakah kau sudah melakukannya?" Karna menekankan suaranya.

Nabil tidak menjawab. Ia merasa seluruh pengajian yang selama ini ia berikan berubah menjadi beban berat yang kini harus ia pikul sendiri.


Malam itu, Nabil tak bisa tidur. Ia merenung lama, suara ayahnya yang sedang mengaji dari dalam rumah hanya terdengar sayup-sayup.

Ia mulai menyadari sesuatu: selama ini, ia hidup dalam kemewahan yang tak pernah ia pertanyakan. Ia berbicara tentang kesederhanaan, tetapi ia belum benar-benar menjalaninya.

Keesokan harinya, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia keluar dari lingkungan pesantren tanpa kendaraan, tanpa pakaian gamis yang biasanya ia kenakan. Ia berjalan ke arah sawah, di mana Karna dan pemuda-pemuda kampung lain sedang bekerja.

Mereka menoleh kaget saat melihatnya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Karna, masih dengan nada yang sama seperti malam sebelumnya.

"Aku ingin mencoba," jawab Nabil pelan.

Maka hari itu, untuk pertama kalinya, tangan Nabil menyentuh lumpur sawah. Ia mencoba mengangkat karung berisi padi, meskipun beratnya membuat punggungnya terasa nyeri. Ia membantu para petani menjemur gabah, meski panas matahari membakar kulitnya yang terbiasa terlindung di dalam ruangan.

Ia tak banyak bicara. Ia hanya bekerja.

Dan di situlah, untuk pertama kalinya, ia benar-benar memahami apa yang selama ini hanya ia ucapkan dalam ceramahnya.


Sejak hari itu, sesuatu berubah dalam diri Nabil. Ia masih berceramah, tetapi kali ini dengan suara yang lebih rendah, dengan pemahaman yang lebih dalam.

Ia tak hanya bicara tentang berbagi, tetapi ia benar-benar melakukannya. Ia turun ke jalanan, ke sawah, ke rumah-rumah orang miskin, membantu bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan tangannya sendiri.

Dan untuk pertama kalinya, orang-orang mulai benar-benar mendengarkannya.

Karna, yang selama ini mencibirnya, akhirnya tersenyum kecil saat melihatnya bekerja di sawah.

"Baru sekarang aku mau mendengar ceramahmu," katanya suatu hari.

Nabil tertawa kecil. "Dan baru sekarang aku merasa pantas mengatakannya."

Mereka berdua terdiam sejenak, sebelum kembali bekerja di bawah matahari yang mulai condong ke barat.

Next Post Previous Post