Jangan Persulit Urusan Orang, Permudah Saja

Cerita: "Jangan Persulit Urusan Orang, Permudah Saja"

Di sebuah desa kecil yang berada di pinggiran kota, Karno, seorang petani yang sudah tua, menjalani hari-harinya seperti biasa. Hidupnya sederhana, penuh dengan rutinitas harian yang tak berubah. Menanam jagung, memelihara ayam, dan merawat ladang. Hanya itu yang ia tahu dan butuhkan. Desa itu juga begitu, tidak ada yang lebih atau kurang. Orang-orangnya saling kenal, hidup dalam kerukunan, dan tak banyak hal yang bisa dipermasalahkan.

Namun, seperti halnya kehidupan yang tidak bisa selalu berjalan mulus, tiba-tiba muncul sebuah masalah yang mengganggu ketenangan hidup Karno. Pada suatu pagi yang cerah, ketika Karno tengah menyiram tanaman jagung di ladangnya, tiba-tiba seorang pemuda muda datang menghampirinya.

Pemuda itu mengenakan pakaian rapi, sedikit modern. Tidak seperti kebanyakan orang di desa yang hanya mengenakan pakaian sederhana. Pemuda itu, yang Karno kenal sebagai Dito, seorang anak muda yang baru saja kembali dari kota besar, tampak gelisah.

“Pak Karno,” kata Dito dengan napas terengah-engah, “saya butuh bantuan Anda. Ada masalah dengan tanah warisan keluarga saya.”

Karno menatapnya, tak sepenuhnya memahami. “Masalah apa, Nak? Saya ini cuma petani. Tidak banyak tahu soal tanah atau hukum.”

“Begini, Pak,” Dito menjelaskan dengan suara yang sedikit terburu-buru, “kami sedang mengalami masalah sengketa tanah. Ada pihak yang mengklaim tanah warisan saya. Saya sudah mencoba berbagai cara, tapi semakin saya cari solusi, semakin saya merasa bingung dan pusing. Saya dengar Anda bijaksana. Mungkin Anda bisa membantu.”

Karno menggaruk kepala yang mulai botak, merasa bingung. “Aku ini petani, bukan pengacara atau ahli hukum. Kalau soal tanah, mungkin aku bisa bantu, tapi kalau soal hukum, bisa jadi lebih rumit.”

Namun, Dito segera mengeluarkan ponselnya dari tas. “Pak, saya tidak berharap Anda memecahkan masalah hukum saya. Tapi saya menggunakan aplikasi legal yang bisa membantu menyelesaikan sengketa tanah. Hanya saja, aplikasi itu penuh dengan pilihan yang rumit dan terkadang saya tidak tahu harus memilih yang mana.”

Karno menatap layar ponsel Dito dengan penuh rasa ingin tahu. Aplikasi yang terbuka di layar ponsel Dito menunjukkan berbagai pilihan prosedur hukum, dengan berbagai macam terminologi yang sulit dipahami.

“Apa ini?” tanya Karno.

“Ini aplikasi pengelolaan hukum tanah,” jawab Dito. “Saya perlu mengisi formulir yang rumit, lalu memilih prosedur yang tepat, dan semua itu harus dilakukan secara digital. Sejujurnya, saya bingung, Pak. Saya sudah mencoba, tapi semakin banyak informasi yang saya dapat, semakin saya merasa tersesat.”

Karno tersenyum kecil, senyum yang penuh dengan kebijaksanaan. Ia sudah mendengar tentang aplikasi-aplikasi yang digunakan orang-orang muda untuk menyelesaikan masalah yang lebih teknis, lebih birokratis. Tapi Karno, dengan segala kesederhanaannya, tahu bahwa banyak hal yang tidak perlu dipersulit.

“Dito, coba dengarkan baik-baik,” kata Karno sambil mengusap wajahnya. “Teknologi itu memang banyak membantu, tapi kita juga bisa menilai mana yang harus diprioritaskan. Kalau kamu terus-terusan memperumit masalah ini, kamu malah jadi semakin jauh dari solusi. Aplikasi itu tidak bisa memberi tahu kamu apa yang ada di hati orang-orang yang terlibat dalam masalah ini.”

“Lalu bagaimana, Pak?” tanya Dito, agak frustasi. “Haruskah saya meninggalkan aplikasi ini?”

Karno menggelengkan kepala. “Tidak perlu meninggalkan aplikasi, Nak. Gunakan itu kalau perlu. Tapi jangan sampai kamu terjebak dalam labirin yang rumit. Cobalah duduk bersama orang-orang yang terlibat dalam sengketa itu. Bicarakan masalah ini dengan mereka. Selesaikan dengan kepala dingin. Tidak perlu buru-buru mengandalkan aplikasi atau hukum yang ribet. Kalau kita bisa saling mendengarkan, banyak masalah yang bisa selesai dengan cara yang sederhana.”

Dito terlihat sedikit bingung, namun ia memutuskan untuk mengikuti saran Karno. "Tapi Pak, saya masih merasa bingung. Semua prosedurnya sudah begitu rumit. Saya tidak tahu harus mulai dari mana."

Karno tersenyum lebih lebar dan mengeluarkan ponselnya sendiri. “Begini, Nak. Saya juga punya ponsel, dan saya sering menggunakan aplikasi untuk banyak hal. Misalnya, untuk memesan pupuk, mengecek cuaca, atau bahkan untuk mencari informasi seputar tanaman yang baik ditanam di musim ini. Tapi saya tidak pernah terjebak dalam kerumitan itu. Yang penting adalah tahu kapan harus menggunakan teknologi dan kapan harus kembali ke cara yang lebih sederhana.”

Karno membuka aplikasi sederhana di ponselnya. “Lihat ini,” katanya sambil menunjukkan aplikasi cuaca yang menunjukkan prakiraan hujan dalam beberapa hari ke depan. “Aku pakai aplikasi ini buat mengatur waktu menyiram tanaman. Kalau hujan, saya nggak perlu repot-repot lagi. Jadi, teknologi itu membantu, tapi tetap harus ada kebijaksanaan dalam menggunakannya.”

Dito memandangi Karno, yang tampaknya begitu tenang dengan ponsel sederhana dan dunia yang tidak terlalu terbebani oleh kompleksitas. “Mungkin saya terlalu banyak berpikir soal aplikasi itu, Pak. Mungkin saya harus lebih sering mendengar orang, seperti yang Anda katakan.”

Karno menepuk bahu Dito. “Jangan persulit urusan orang, Nak. Permudah saja. Aplikasi dan teknologi itu alat. Alat hanya berguna kalau kita tahu cara menggunakannya dengan bijak. Tapi, kalau kita terlalu bergantung pada alat itu, kita akan melupakan cara-cara yang lebih manusiawi untuk menyelesaikan masalah.”

Hari itu, Dito pergi dengan ponsel di tangannya, namun kali ini ia tampak lebih tenang. Ia memutuskan untuk mencari waktu untuk berbicara langsung dengan orang-orang yang terlibat dalam sengketa tanah, mendengarkan alasan mereka, dan mencari jalan keluar tanpa terlalu terjebak dalam kerumitan prosedur aplikasi atau hukum yang membingungkan.

Karno kembali ke ladangnya, melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Ia merasa ringan karena tahu, dalam dunia yang serba cepat ini, sering kali cara paling sederhana adalah cara yang paling bijaksana.


Akhir Cerita

Cerita ini mengangkat dua sisi dari penggunaan teknologi: kemudahan yang bisa ditawarkan aplikasi, namun juga bahayanya ketika teknologi itu justru memperumit masalah yang seharusnya bisa diselesaikan dengan cara yang lebih sederhana. Karno, meskipun seorang petani sederhana, mengajarkan Dito sebuah pelajaran yang lebih dalam: teknologi harus digunakan dengan bijaksana, dan manusia tetap harus mengutamakan komunikasi, empati, dan kebijaksanaan dalam menghadapi masalah—sesederhana itu.

Next Post Previous Post