OTW Mekkah
![]() |
OTW Mekkah |
Impian yang Terlalu Besar
Rahman duduk di atas rakit bambunya, menatap cakrawala yang luas dan tak berujung. Angin laut berhembus lembut, membawa aroma asin yang khas. Ombak kecil bergulung, sesekali menggoyangkan rakit sederhana yang ia buat sendiri dari bambu dan jerigen kosong. Di belakangnya, sebuah bendera merah putih berkibar dengan gagah, dan di bawahnya, sebuah papan kayu bertuliskan "OTW MEKKAH" terpasang kokoh.
Beberapa hari lalu, dia masih berada di kampung, duduk di bawah pohon mangga dekat mushola, berbincang dengan sahabatnya, Budi.
"Kamu benar-benar mau pergi ke Mekkah naik rakit ini, Man?" Budi bertanya, suaranya terdengar setengah yakin, setengah khawatir.
Rahman mengangguk, tersenyum tipis. "Aku udah janji, Di. Kalau aku gak bisa naik pesawat, ya aku cari jalan lain."
Budi menghela napas panjang. Ia sudah lama mengenal Rahman. Sejak kecil, sahabatnya itu selalu punya impian besar. Rahman bukan orang yang mudah menyerah. Waktu kecil, mereka pernah bercita-cita menjadi pelaut, lalu berlayar ke negeri-negeri jauh. Tapi hidup punya caranya sendiri untuk mengubah mimpi seseorang.
Rahman lahir di keluarga sederhana. Ayahnya seorang nelayan yang sudah pergi entah ke mana sejak ia masih berusia lima tahun. Ibunya, seorang penjual nasi uduk di pasar, membesarkannya dengan penuh perjuangan. Meski hidup mereka sulit, Rahman tak pernah mengeluh.
Sejak kecil, ia selalu mendengar cerita tentang Mekkah, tentang betapa indahnya Ka'bah, tentang betapa harunya orang-orang yang bisa beribadah di sana. Dan ia berjanji, suatu hari nanti, ia akan pergi ke sana.
Namun, kenyataan tak semudah itu.
Persiapan yang Tak Masuk Akal
Selama berbulan-bulan, Rahman mengumpulkan bahan untuk membuat rakitnya. Setiap kali ada jerigen kosong tersisa dari nelayan yang kembali ke pantai, ia mengambilnya. Ia juga mencari bambu yang kuat dan mengikatnya satu per satu dengan tali tambang yang ia beli dari uang hasil kerja serabutan.
"Kamu yakin rakit ini kuat?" tanya Pak Salim, tetangga yang sering melihatnya bekerja.
Rahman tersenyum. "InsyaAllah, Pak. Kalau kuat, berarti ini jalanku. Kalau tidak, mungkin Allah mau kasih jalan lain."
Pak Salim menggeleng pelan. "Anak muda ini keras kepala," gumamnya. Tapi di matanya ada sorot kagum. Tidak banyak anak muda yang seberani Rahman.
Sebelum berangkat, ia berpamitan kepada ibunya.
"Ibu nggak bisa melarangmu, Man," kata ibunya dengan suara bergetar. "Tapi ibu ingin kamu janji, kalau di tengah jalan kamu merasa nggak bisa, pulanglah."
Rahman menggenggam tangan ibunya erat. "Doakan Rahman, Bu."
Dengan air mata yang ditahan, ibunya mengangguk.
Lautan yang Tak Bisa Diprediksi
Hari pertama di laut, Rahman masih penuh semangat. Angin berhembus sejuk, matahari bersinar cerah. Ia merasa seperti seorang petualang sejati.
Namun, malam pertama datang membawa tantangan. Ombak lebih besar dari yang ia duga. Angin kencang menggoyangkan rakitnya hingga hampir terbalik. Air laut mulai membasahi sebagian barang bawaannya.
Rahman menarik napas dalam-dalam. "Bismillah," gumamnya.
Ia ingat pesan ibunya. Jika merasa tidak bisa, pulanglah. Tapi hatinya masih penuh keyakinan.
Keesokan paginya, langit kembali cerah. Ia mengeluarkan roti kering yang ia simpan dalam plastik. Air minumnya masih cukup untuk beberapa hari, tapi ia harus segera menemukan daratan untuk mengisi persediaan.
Beberapa burung camar terbang rendah di dekatnya. Ia tahu, itu pertanda ada pulau tak jauh dari sini. Dengan penuh harapan, ia mendayung perlahan, mengikuti arah burung-burung itu.
Persinggahan di Pulau Kecil
Siang itu, Rahman akhirnya menemukan sebuah pulau kecil. Ia mendorong rakitnya ke tepian dan melompat ke pasir putih yang lembut.
Pulau itu sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia. Namun, ada pohon kelapa yang cukup banyak. Dengan sisa tenaganya, ia memanjat dan mengambil beberapa buah.
Setelah beberapa hari di laut, air kelapa segar terasa seperti anugerah yang luar biasa. Ia duduk di bawah pohon, menikmati minuman alami itu sambil menatap laut.
Dalam hati, ia bertanya-tanya, apakah benar ia bisa sampai ke Mekkah dengan cara ini?
Tapi lalu ia tersenyum. "Allah tidak akan membiarkan hambanya berjuang sendirian," bisiknya.
Malam itu, ia tidur di pantai, berselimut langit berbintang.
Ujian yang Sesungguhnya
Perjalanan dilanjutkan. Kali ini, Rahman lebih siap. Ia membawa beberapa kelapa sebagai bekal tambahan.
Hari-hari berlalu. Ombak besar datang silih berganti. Matahari menyengat. Kulitnya semakin gelap terbakar terik.
Pada suatu malam, badai besar datang. Angin begitu kencang hingga hampir membuatnya jatuh ke laut. Rakitnya terombang-ambing tanpa kendali.
"Ya Allah, tolong aku!" teriaknya di tengah kegelapan.
Air hujan mencambuk wajahnya. Kilat menyambar di kejauhan. Dalam situasi seperti itu, ketakutan mulai merayapi hatinya.
Namun, di saat yang sama, ada perasaan pasrah yang luar biasa. Ia tak lagi berusaha melawan badai. Ia hanya bisa berdoa dan percaya bahwa Allah akan menunjukkan jalan.
Setelah berjam-jam bertahan, badai akhirnya mereda. Rahman tergeletak di atas rakitnya, kelelahan. Ia menatap langit yang kembali tenang.
Ia masih hidup.
Perjalanan yang Masih Panjang
Esok paginya, ia terbangun oleh suara burung. Ia bangkit perlahan, seluruh tubuhnya terasa sakit.
Di kejauhan, ia melihat kapal nelayan. Dengan sisa tenaganya, ia melambaikan tangan.
Nelayan itu akhirnya mendekat dan menatapnya dengan heran. "Kamu ngapain di sini, Nak?"
Rahman tersenyum lemah. "Saya mau ke Mekkah, Pak."
Nelayan itu tertawa, tapi ada nada kagum di suaranya. "Kamu gila atau kamu punya iman sekuat baja?"
Rahman hanya tersenyum.
Mereka membantunya naik ke kapal, memberinya makan, dan bertanya tentang perjalanannya. Ia menceritakan semuanya, dari impian masa kecil hingga badai yang hampir merenggut nyawanya.
"Terus kamu mau lanjut?" tanya salah satu nelayan.
Rahman mengangguk. "Selama Allah masih memberi saya kesempatan, saya akan terus berjalan."
Para nelayan itu saling pandang, lalu salah satu dari mereka berkata, "Kalau begitu, kami akan membantumu."
Rahman menatap mereka dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu, perjalanan ini masih panjang. Tapi ia juga tahu, selama ada keyakinan, selalu ada jalan.
Keyakinan Tak Pernah Tenggelam
Rahman tidak tahu bagaimana dan kapan ia akan sampai ke Mekkah. Tapi satu hal yang ia yakini: selama ia terus berusaha, Allah akan membukakan jalan.
Mungkin perjalanan ini mustahil bagi banyak orang. Tapi bagi Rahman, mustahil hanyalah kata yang belum menemukan jalannya sendiri.
Di tengah lautan luas, dengan hati yang penuh harapan, ia terus berlayar.