Di Mana Kita Berasal
Kita semua berasal dari sebuah tempat. Sebuah titik yang sering kita sebut "kampung halaman"—meskipun tak semua dari kita lahir atau besar di sana. Tapi dalam benak, kampung halaman selalu punya bentuk: sawah terbentang, suara ayam pagi-pagi, jendela kayu yang menghadap kebun, atau suara ibu dari dapur yang meminta kita cuci kaki sebelum tidur.
Ia adalah ruang kecil yang menyimpan awal segalanya—masa kanak-kanak, tawa yang polos, air mata pertama, dan mungkin juga luka pertama. Kampung halaman bukan tempat yang sempurna, tapi ia membekas. Seperti gurat tipis di kulit yang tak bisa dihapus waktu, bahkan jika sudah menempuh ribuan kilometer.
Namun dalam dunia yang terus bergerak, kampung halaman menjadi sejenis artefak. Ia dilihat, dikenang, dirindukan—tapi kadang tak lagi dihuni. Kita pergi. Kita harus pergi. Karena seperti yang dikatakan dalam lirik lagu-lagu lama, "di sini tak ada pilihan selain bertahan atau merantau." Dan anak-anak muda memilih yang kedua. Dengan koper kecil dan restu yang berat, mereka meninggalkan tanah itu menuju janji bernama kota.
Tapi, pertanyaannya bukan hanya tentang mengapa kita pergi. Lebih penting adalah: mengapa, bahkan setelah bertahun-tahun, kampung halaman tetap muncul dalam mimpi kita? Mengapa ketika sukses telah digenggam—dalam bentuk apartemen, jabatan, atau sekadar status—kita masih merasa belum benar-benar sampai?
Ada yang bilang, kampung halaman bukan tempat kita tinggal, tapi tempat yang tinggal di dalam kita.
Dan mungkin, itu sebabnya ia tak pernah benar-benar hilang.
Anak Muda dan Jalan yang Memisah
Anak muda selalu menjadi mereka yang berdiri di persimpangan: antara yang diwariskan dan yang diinginkan, antara kampung halaman dan kota yang berkilau dalam imajinasi. Mereka tumbuh di bawah atap rumah yang tak tinggi, dengan halaman tanah dan pagar hidup, tapi mata mereka menatap jauh ke jendela dunia yang lain—lewat televisi, media sosial, cerita-cerita dari saudara jauh, dan selebaran brosur kampus-kampus di kota.
Pagi di kampung adalah rutinitas yang sederhana. Suara motor bapak-bapak yang hendak ke ladang, anak-anak kecil berlarian dengan sandal jepit, dan ibu-ibu menyapu halaman dengan sapu lidi. Tapi bagi anak muda yang tumbuh di dalamnya, kesederhanaan itu lambat laun menjadi kegelisahan. Ada rasa bahwa di luar sana, sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, dan mereka akan tertinggal jika tak ikut bergerak.
Maka pergerakan itu dimulai. Kadang pelan, kadang terburu-buru. Seperti sungai yang tak bisa dicegah alirannya, anak-anak muda mulai merantau, satu per satu. Ke kota kabupaten, lalu ke kota provinsi, lalu ke Jakarta—atau bahkan ke luar negeri. Ada yang pergi untuk kuliah, ada yang mencari kerja, ada yang hanya ingin lepas dari segala yang lama. Alasan mereka tak selalu terang. Kadang hanya berupa desakan halus dalam hati: “Saya ingin tahu rasanya jadi orang lain.”
Keluarga sering tak bisa melawan. Bahkan dalam air mata dan doa, mereka tetap melepas. Karena dalam budaya kita, merantau seringkali menjadi semacam rite of passage—ritual tak tertulis menuju kedewasaan. Anak laki-laki dianggap belum benar-benar menjadi laki-laki jika belum pergi jauh. Anak perempuan yang merantau bahkan lebih “spesial”—mereka dianggap pemberani, tangguh, dan istimewa. Tapi di balik itu, ada beban. Ada harapan yang tak pernah diucapkan secara terang: bahwa dengan pergi, mereka akan kembali membawa sesuatu. Uang, gelar, rumah baru, kehidupan yang lebih baik.
Namun perjalanan menuju "sesuatu" itu tak selalu lurus. Banyak yang sampai di kota justru mendapati diri tersesat. Bukan karena tidak tahu arah, tapi karena arah yang dikejar ternyata bukan milik mereka. Kota menawarkan banyak hal, tapi tidak semuanya bisa dimiliki. Bersaing dalam gelombang manusia yang saling mendahului, anak muda dari kampung itu mulai belajar tentang kesepian, tentang berdesak-desakan di bus pagi, tentang gaji yang tak pernah cukup, tentang rindu yang tak bisa dijelaskan dengan video call.
Di sinilah kampung halaman kembali hadir—bukan dalam bentuk tempat, tapi suara yang memanggil di dalam kepala. Ketika lapar dan hujan datang bersamaan, saat tubuh letih dan uang tinggal recehan, saat dikhianati teman atau gagal dalam pekerjaan, mereka teringat pada nasi hangat dan sambal buatan ibu. Pada lampu petromaks di mushola kecil. Pada suara kodok di kolam belakang rumah.
Ironisnya, makin keras mereka bekerja di kota, makin tajam pula rindu itu menikam. Karena mereka sadar, keberhasilan yang dijanjikan kota tak pernah benar-benar lunas dibayar. Selalu ada bagian dari diri yang tertinggal di kampung: foto masa kecil yang masih menempel di dinding kayu, pohon mangga yang dulu ditanam ayah, atau bahkan tanah kuburan kakek yang belum sempat diziarahi.
Tapi meski begitu, tak banyak yang kembali untuk menetap. Kampung hanya menjadi tujuan tahunan saat lebaran. Sebuah transit emosional, bukan rumah yang ingin dihuni lagi. Mereka datang dengan mobil sewaan atau koper besar, disambut oleh tetangga yang tak berubah, disuguhi makanan khas, dan kemudian pergi lagi. Dalam beberapa hari, mereka menjadi pahlawan—setidaknya di mata keluarga. Tapi jauh di dalam diri, ada kegamangan yang tak selesai: “Apakah saya sungguh berhasil? Atau saya hanya sedang memainkan peran yang diharapkan orang lain?”
Anak muda sering diburu oleh ukuran-ukuran eksternal. Gelar sarjana, gaji dua digit, apartemen di pinggir tol, dan sederet pencapaian yang terlihat hebat di Instagram. Tapi kampung tak peduli pada itu semua. Kampung hanya ingin tahu: apakah kamu masih bisa duduk di beranda sambil menyapa tetangga? Apakah kamu masih ingat jalan ke sawah? Apakah kamu masih ingat siapa yang mengajarimu membaca dulu?
Di titik inilah, banyak anak muda mulai sadar bahwa jalan yang memisah mereka dari kampung bukanlah jalan yang sesungguhnya mereka inginkan. Tapi mereka sudah terlalu jauh berjalan. Dan tak semua punya keberanian untuk berbalik arah.
Namun ada pula yang pulang—tidak hanya secara fisik, tapi secara niat. Mereka membawa pulang pengalaman kota, lalu menanamnya di tanah kampung. Mereka membangun perpustakaan desa, membuka usaha kecil, mengajar anak-anak, atau sekadar menjadi bagian dari kehidupan di sana. Mereka tidak selalu datang dengan kekayaan, tapi dengan pemahaman baru tentang makna hidup.
Dan mungkin, itu bentuk kesuksesan yang sesungguhnya: bukan ketika kita menjauh sejauh mungkin dari kampung halaman, tapi ketika kita bisa menjembatakan dua dunia—dunia yang membesarkan kita, dan dunia yang mengajarkan kita kerasnya hidup.
Mereka adalah jembatan. Dan jembatan tak memilih di mana ia berdiri—ia hanya memastikan bahwa dua ujung yang terpisah bisa kembali saling terhubung.
Di Jantung Kota — Antara Mimpi dan Lupa
Kota bukan sekadar tempat. Ia adalah sebuah ritme—berdebar, berderu, dan tak pernah tidur. Bagi anak muda yang baru datang dari kampung halaman, kota adalah kejutan yang tak berhenti. Jalanan dengan lampu merah yang tak pernah padam. Gedung-gedung yang menjulang seperti ambisi yang terlalu tinggi. Orang-orang berjalan cepat, seakan mengejar waktu yang tak bisa ditahan.
Di hari pertama mereka tiba, biasanya dengan bus antarkota atau kereta malam, mereka disambut bukan oleh pelukan hangat, tapi oleh udara panas terminal, deru klakson, dan rasa asing. Kota tidak mengenal mereka. Tidak ada tetangga yang menyapa. Tidak ada warung yang memberi utang. Tidak ada rumah dengan jendela terbuka. Hanya suara mesin, debu, dan orang-orang sibuk dengan dunianya masing-masing.
Mereka tinggal di kamar sempit, mungkin kos-kosan dengan dinding triplek, atau kontrakan kecil di gang sempit yang tak pernah sepi suara. Tapi justru dari sanalah mereka mulai membangun mimpi. Di kota ini, mereka ingin menjadi “orang”. Menjadi seseorang yang dihargai, dikenang, dibicarakan.
Pagi mereka dimulai dengan alarm yang tak sempat ditunda. Mandi cepat. Sarapan seadanya—kadang hanya kopi sachet dan roti basah. Lalu bergegas ke kantor, kampus, atau proyek. Mereka belajar tentang antrean, tentang telat, tentang potongan gaji, tentang target. Dan setiap malam, mereka pulang dengan tubuh lelah dan pikiran yang penuh.
Ada yang bekerja di agensi dengan logo modern. Ada yang menjadi staf di institusi negara. Ada pula yang bekerja serabutan: jadi kurir, jaga kafe, ngojek online, atau editor lepas. Status sosial mereka berbeda, tapi keresahan mereka sama: kota ini terlalu cepat. Dan jika tidak berlari, mereka akan ditinggal.
Dalam hiruk pikuk itu, mimpi yang dulu mereka bawa dari kampung pelan-pelan berubah bentuk. Dari ingin "membanggakan orang tua" menjadi "membayar uang sewa." Dari ingin "menjadi orang yang bermanfaat" menjadi "jangan sampai kena PHK." Dari ingin "kembali membangun kampung" menjadi "gimana caranya hidup cukup sampai akhir bulan."
Dan perlahan-lahan, kampung mulai terhapus dari pembicaraan harian. Ia tetap hadir, tapi hanya sebagai latar di foto lama, atau panggilan singkat dari ibu yang bertanya, “Kapan pulang, Nak?”
Ada semacam pelupaan yang tak disadari. Bukan karena niat, tapi karena rutinitas. Nama jalan di kampung mulai terdengar asing. Nama tetangga sulit diingat. Tradisi lokal tergantikan oleh tren global. Bahkan lidah pun mulai berubah—logat dikikis pelan-pelan agar terdengar lebih "modern".
Tapi, meski kota begitu kuat menarik, tetap ada ruang kecil di hati yang kosong. Ruang yang hanya bisa diisi oleh aroma tanah basah sehabis hujan di kampung. Oleh suara adzan dari surau kecil. Oleh mata nenek yang berkaca-kaca setiap kali video call.
Ada kalanya anak muda di kota terbangun tengah malam, dan merasa asing di kasur empuk yang tak pernah benar-benar menjadi miliknya. Mereka merasa lelah. Bukan karena pekerjaan, tapi karena kehilangan makna. Mereka mulai bertanya: Untuk siapa aku bekerja? Untuk apa aku bertahan? Siapa aku sebenarnya?
Di titik itu, beberapa dari mereka mulai mencari kembali yang hilang. Mereka membaca puisi, menulis blog, mengunjungi kedai kopi kecil yang mengingatkan pada warung di kampung. Ada yang mulai belajar menanam, membeli sepeda ontel, atau sekadar mendengarkan musik lama yang biasa diputar bapak di rumah.
Tapi ada pula yang makin larut. Yang memilih melupakan sepenuhnya. Mereka mengganti nama akun media sosial, enggan menjawab telepon dari keluarga, atau bahkan membenci asal-usulnya sendiri. Mereka merasa kampung adalah simbol kegagalan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Bahwa untuk menjadi sukses, mereka harus sepenuhnya menjadi kota.
Kota bisa membuat seseorang besar, tapi juga bisa membuatnya kehilangan arah. Karena di tengah banyaknya pilihan, terlalu mudah untuk lupa siapa diri kita sebenarnya.
Gunawan Muhammad pernah menulis bahwa "manusia modern sering terlalu sibuk dengan pencapaian, hingga lupa bertanya apakah pencapaian itu membawa kebahagiaan." Dan di kota, kebahagiaan adalah barang langka. Ia sering dikira ada di mall, di diskon, di kafe yang viral, di konser musisi luar negeri. Tapi setelah itu semua usai, kita kembali ke kamar, dan mendapati sunyi yang lebih keras dari suara speaker konser.
Di kota, anak muda belajar tentang hidup. Tentang bagaimana dunia tidak adil. Bahwa kerja keras tak selalu dibayar setimpal. Bahwa relasi sering dibentuk oleh kepentingan, bukan kasih. Tapi dari situ pula, mereka belajar menjadi kuat, mandiri, dan bijaksana.
Namun di balik semua pelajaran itu, mereka juga tahu: mereka tak bisa tinggal selamanya di sini. Ada sesuatu yang harus mereka lakukan. Entah itu kembali, entah itu membagi, entah itu mengingat. Tapi yang pasti: tak ada yang benar-benar bisa melupakan dari mana ia berasal.
Karena kota, seberapapun megahnya, hanyalah panggung. Dan panggung, pada akhirnya, akan kosong ketika lampu dimatikan.
Yang tersisa hanya suara di dalam hati. Dan suara itu, lebih sering daripada tidak, berbicara dalam bahasa kampung halaman.
Makna Kesuksesan — Pertarungan Narasi
Setiap kampung punya versinya sendiri tentang kesuksesan. Dan setiap kota menawarkannya dengan cara berbeda. Di sinilah benturan terjadi: narasi tentang siapa yang dianggap berhasil tidak lagi satu arah. Anak muda, yang berada di tengah dua dunia itu, kerap terombang-ambing—tak sepenuhnya percaya pada satu, tapi juga belum yakin pada yang lain.
Di kampung, sukses sering dibayangkan secara konkret: anak yang bisa bekerja di kantor, mengenakan kemeja rapi, dan pulang naik mobil dengan plat luar kota. Lebih-lebih jika bisa membelikan orang tua sepeda motor baru atau menyumbang pembangunan masjid. Warga akan menyebutnya “anak hebat”. Foto-fotonya terpajang di ruang tamu. Ia jadi kebanggaan kolektif—simbol bahwa dari kampung kecil ini, ada yang bisa “tembus kota”.
Narasi ini tidak salah. Tapi ia sederhana. Ia menilai keberhasilan dari apa yang tampak. Dari benda-benda yang bisa dibeli. Dari status yang bisa dilihat. Dari hasil yang bisa dikabarkan. Tak banyak ruang bagi kisah-kisah yang tak kunjung selesai—anak muda yang masih mencari, yang jatuh bangun, atau yang memilih jalan sunyi seperti menulis puisi atau bertani organik.
Sebaliknya, kota menawarkan kesuksesan dalam bentuk yang lebih cair dan personal. Di sana, sukses bisa berarti punya startup sendiri, meskipun belum profit. Bisa berarti bekerja freelance tapi “bebas waktu.” Bisa juga berarti traveling ke luar negeri, punya followers ribuan, atau hidup minimalis. Tapi kesuksesan kota juga penuh tekanan. Ia selalu bergerak. Selalu menuntut pembuktian. Hari ini dipuji, besok dilupakan. Hari ini naik, besok bisa tenggelam dalam algoritma.
Di antara dua versi itu, anak muda sering merasa harus memilih. Apakah ia harus membuktikan pada kampung bahwa ia "berhasil" dengan tolok ukur lama? Atau cukup membahagiakan dirinya sendiri meskipun tidak semua orang mengerti? Pertanyaan ini menghantui mereka di usia 20-an—saat semangat dan rasa takut saling tarik menarik.
Dan pada momen-momen paling sunyi, mereka mulai menyadari bahwa kesuksesan, seperti halnya cinta atau iman, bukan sesuatu yang bisa dinilai sepihak. Ia tumbuh dari dalam. Ia tidak selalu tampak. Ia bukan soal puncak, tapi tentang bagaimana kita menjalani perjalanan.
Ada anak muda yang memilih pulang ke kampung dan mengajar di sekolah dasar. Gajinya kecil. Tapi setiap pagi ia disambut oleh senyum anak-anak yang berlari tanpa beban. Di kota, temannya bekerja di perusahaan multinasional, gaji dua digit, tapi setiap hari meneguk kopi untuk mengusir cemas dan tidur dengan bantuan podcast meditasi.
Siapa yang lebih sukses? Tidak ada ukuran pasti. Mungkin keduanya sedang belajar hal yang berbeda. Yang satu belajar memberi. Yang lain belajar bertahan.
Namun, narasi-narasi lama kerap tidak memberi ruang untuk ambiguitas seperti itu. Di kampung, masih ada yang berbisik, “Kasihan, lulusan sarjana tapi cuma buka kebun.” Di kota, masih ada yang mencibir, “Bikin konten terus, kerjaan sebenarnya apa?” Kedua dunia ini, meski berbeda, kadang sama kerasnya dalam menilai.
Di sinilah pentingnya kesadaran baru: bahwa anak muda harus membangun narasi mereka sendiri. Tentang sukses yang tak selalu megah. Tentang pencapaian yang tidak selalu gemerlap. Tentang makna hidup yang tak harus diukur dengan gaji, rumah, atau gelar.
Gunawan Muhammad, dalam esai-esaian panjangnya tentang manusia dan sejarah, selalu menyiratkan bahwa identitas adalah sesuatu yang cair, yang dibentuk oleh ingatan, perjalanan, dan pilihan sadar. Maka anak muda pun harus berani menentukan arah. Meskipun arah itu membuat mereka berbeda. Meskipun jalan itu tak selalu dimengerti orang tua, tetangga, atau teman sekelas dulu.
Dan mungkin, justru di sanalah keberhasilan sejati berada: bukan saat kita menyesuaikan diri sepenuhnya dengan harapan orang lain, tapi saat kita bisa menjelaskan dengan jernih mengapa kita memilih jalan yang kita tempuh.
Kesuksesan, pada akhirnya, bukan soal pencapaian yang bisa diukur orang lain. Ia soal kedamaian yang hanya bisa dirasakan sendiri.
Anak muda yang pulang ke kampung tidak harus membawa mobil. Cukup membawa waktu. Anak muda yang tinggal di kota tidak harus punya rumah sendiri. Cukup punya tempat untuk berdamai dengan diri sendiri.
Namun untuk sampai ke titik itu, dibutuhkan keberanian. Keberanian untuk melawan arus. Untuk mempertanyakan norma. Untuk mengatakan: “Aku tidak ingin menjadi seperti yang kalian inginkan, tapi seperti yang aku yakini.”
Dan mungkin, pada akhirnya, kampung halaman dan kota besar bukan dua kutub yang harus dipilih. Mereka adalah dua sisi dari cermin yang sama—tempat kita belajar menjadi manusia yang utuh, lengkap dengan luka, tanya, dan harapan.
Kembali dan Menjadi — Kampung yang Tidak Lagi Sama
Setiap perjalanan memiliki titik balik. Dan bagi sebagian anak muda, titik balik itu bukan saat mereka mencapai puncak di kota, melainkan ketika mereka pulang—bukan sebagai anak yang kembali mencari, melainkan sebagai pribadi yang telah menjadi.
Pulang, bagi mereka, bukan sekadar kembali ke titik awal. Bukan nostalgia. Bukan pula pelarian. Pulang adalah proses. Sebuah keputusan sadar. Sebuah upaya mempertemukan dua dunia yang selama ini bertabrakan di dalam diri mereka: kampung dan kota, tradisi dan modernitas, keheningan dan gebyar.
Mereka yang memutuskan untuk kembali ke kampung biasanya datang dengan bekal yang tak tampak: pengalaman. Bukan gelar, bukan status. Tapi kepekaan. Mereka pernah hidup di kota yang cepat, yang gemerlap, yang penuh kompetisi—dan kini ingin membangun sesuatu di tanah yang pernah mengajari mereka tentang sabar dan kebersamaan.
Tapi kampung yang mereka datangi tidak lagi seperti dulu. Ia telah berubah. Atau setidaknya, pandangan mereka terhadap kampung itulah yang telah berubah.
Anak-anak tak lagi bermain di lapangan karena sibuk dengan ponsel. Petani tak lagi bangga pada tanah karena harga pupuk terlalu mahal. Masjid tak seramai dulu karena kebersamaan tergantikan oleh kesibukan. Bahkan ibu-ibu yang dulu rajin ke pengajian kini sibuk jualan live streaming di marketplace. Dunia berubah, dan kampung pun tak bisa menolak.
Namun justru di tengah perubahan itu, mereka yang pulang punya peluang untuk memberi makna baru. Bukan dengan membawa “kota ke desa,” tapi dengan menghadirkan jembatan antara masa lalu dan masa kini.
Mereka mulai dari hal-hal kecil. Membuka perpustakaan desa. Mengadakan pelatihan digital marketing untuk petani muda. Menyediakan ruang diskusi untuk remaja. Mengaktifkan kembali kegiatan posyandu atau bank sampah. Tidak besar. Tidak viral. Tapi perlahan menggerakkan.
Kampung yang dulu mereka tinggalkan sebagai tempat sunyi dan sepi, kini mereka bangun menjadi ruang dialog. Mereka tidak datang sebagai pahlawan. Mereka datang sebagai bagian dari komunitas. Mereka tidak memaksa perubahan. Mereka mengajak.
Gunawan Muhammad pernah menulis, “Yang penting dalam sejarah bukanlah kejayaan yang dipatungkan, tapi proses yang melibatkan orang banyak, dalam percakapan yang jujur.” Barangkali, itulah yang sedang mereka lakukan: membuka percakapan. Menyambungkan kembali yang terputus.
Namun, jalan pulang tidak selalu mulus. Banyak yang sinis. Banyak yang bertanya, “Ngapain balik ke desa? Di kota kan lebih enak.” Ada pula yang mencibir, “Nggak laku di kota ya?” Tapi mereka tahu: pertanyaan-pertanyaan itu lahir dari luka kolektif yang lama. Dari perasaan ditinggalkan. Dari ketakutan akan perubahan yang gagal dipahami.
Mereka tidak marah. Mereka bersabar. Karena mereka tahu, kampung tidak bisa dibangun dengan marah. Ia harus disentuh dengan empati. Dengan cerita. Dengan waktu.
Dan pelan-pelan, masyarakat mulai membuka diri. Anak muda yang dulu dianggap aneh kini dimintai pendapat. Kegiatan yang dulu sepi kini dihadiri. Ada harapan baru yang tumbuh, meskipun kecil. Seperti tunas di tanah yang lama kering.
Tak semua anak muda memilih jalan ini. Dan itu tak masalah. Ada yang tetap tinggal di kota, mengirim uang, mengelola komunitas diaspora, atau sekadar menulis puisi tentang kampung di balkon apartemen mereka. Mereka juga sedang pulang, dalam cara mereka sendiri.
Karena kampung, dalam pengertian yang lebih dalam, bukan lagi sekadar tempat. Ia adalah cara kita mengingat, mencintai, dan membangun. Ia adalah ruang batin yang hidup dalam tindakan-tindakan kita—di mana pun kita berada.
Dan anak muda yang pulang, bukanlah mereka yang gagal di kota, melainkan mereka yang telah menemukan kembali siapa dirinya.
Mereka sadar bahwa menjadi sukses tidak cukup jika kesuksesan itu tidak memberi arti. Bahwa ilmu, pengalaman, dan pencapaian hanya bernilai jika bisa dibagi. Bahwa kota telah mengajarkan cara bertahan, tapi kampung mengajarkan untuk berbagi.
Di titik inilah, identitas mereka utuh. Mereka bukan lagi “anak desa yang ingin jadi orang kota,” tapi “manusia yang menjembatani dua dunia.”
Mereka adalah perawi zaman. Yang membawa cerita dari kota ke kampung, dan sebaliknya. Yang menyulam makna dari serpihan pengalaman. Yang menyuarakan masa depan tanpa melupakan akar.
Dan pada akhirnya, mereka tahu: pulang bukan hanya tentang kembali. Pulang adalah tentang menjadi. Menjadi seseorang yang sanggup menghadirkan harapan di tempat yang paling membutuhkan: tanah sendiri.
Waktu yang Menyambung Rumah
Tak semua perjalanan berakhir di tempat yang sama. Tapi sebagian kenangan tetap memilih untuk pulang. Dan di dalam kenangan itu, ada sepotong rumah—bukan selalu berbentuk bangunan berdinding kayu atau genteng tanah liat, melainkan sejenis tempat batin di mana suara ibu, aroma sore, dan tanah basah selepas hujan tak pernah benar-benar pergi.
Bagi banyak anak muda, kampung halaman tak lagi seperti yang dulu dikenang. Ia tumbuh, berubah, kadang terasa asing. Tapi dalam detik-detik tertentu—seperti ketika duduk di bangku warung tua, atau melihat sawah dari tepi jalan setapak—ada sesuatu yang tetap: kehangatan yang tak bisa dijelaskan oleh teori mana pun.
Waktu, seperti sungai, mengalir tanpa ampun. Ia membawa kita jauh dari akar, membentuk kita dengan pertemuan-pertemuan dan perpisahan. Tapi waktu pula yang suatu hari mengantar kita pulang—dengan luka-luka kecil, dengan tawa yang telah berubah nadanya, dan dengan pertanyaan-pertanyaan yang akhirnya tak butuh jawaban.
Kesuksesan, bagi anak muda yang telah menempuh berbagai tikungan dan gelombang zaman, perlahan kehilangan bentuknya yang semula. Ia bukan lagi soal angka, gelar, atau pujian. Ia menjadi tentang keutuhan. Tentang damai. Tentang bisa duduk bersama ayah tanpa merasa bersalah karena belum menikah. Tentang bisa tertawa dengan tetangga meskipun tak bisa menjawab pertanyaan klasik, “Sekarang kerja di mana?”
Kampung halaman, pada akhirnya, bukan tentang masa lalu. Ia adalah cermin. Ia memperlihatkan siapa kita dulu, dan siapa kita kini. Ia memaksa kita melihat perubahan dengan jujur: apakah kita makin dekat pada kebaikan, atau justru makin asing dari diri sendiri.
Dalam cermin itu, anak muda melihat dua bayangan: yang dulu ia ingin tinggalkan, dan yang kini ia rindukan. Dan di antara keduanya, ia belajar untuk tidak lagi memusuhi masa lalu.
Ia belajar bahwa rumah tak harus tetap, tapi harus bisa menyambut. Ia belajar bahwa orang tua tak harus selalu paham, tapi ingin dipahami. Ia belajar bahwa kampung halaman, meskipun kecil, mampu memeluk luka yang tak sanggup diobati oleh kecepatan kota.
Di sanalah waktu tidak lagi mengejar. Ia menyusup lewat suara ayam di pagi hari, lewat percakapan di teras, lewat tangan ibu yang masih menyiapkan kopi, meski kini ia tak sekuat dulu.
Dan pada titik itu, anak muda menyadari sesuatu yang sangat sederhana, tapi tak selalu bisa dikatakan dengan bahasa: bahwa pulang bukan untuk menjadi hebat, tapi untuk menjadi utuh.
Bahwa tak ada yang lebih membahagiakan dari melihat senyum orang tua saat kita berkata, “Aku di sini, tidak ke mana-mana.”
Bahwa dunia boleh berubah, tapi ada yang tak boleh ditinggalkan: rasa, cinta, dan akar.
Esai ini, seperti langkah kaki yang perlahan menyusuri jalan setapak di desa, tak berusaha menuntaskan semuanya. Ia hanya menyampaikan serpih-serpih suara, cerita, dan renungan tentang anak muda yang terus mencari bentuk dirinya—antara impian kota dan belenggu kampung, antara ambisi pribadi dan tanggung jawab sosial.
Gunawan Muhammad pernah menyebut bahwa esai adalah “upaya menyusun makna dari yang berserak.” Maka esai ini pun tak lain adalah upaya menyusun makna dari serpihan kehidupan anak muda: dari gelisahnya, dari tawanya, dari langkah pulangnya.
Kita tidak bisa memilih di mana kita lahir. Tapi kita bisa memilih bagaimana kita kembali. Dan bila waktu telah membuat kita dewasa, maka pulang bukan lagi soal lokasi, tapi tentang niat untuk menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar: tanah, bahasa, dan cinta yang tak putus oleh jarak.
Karena pada akhirnya, kampung halaman adalah tempat di mana waktu tidak berjalan lebih cepat daripada hati.
Dan di sanalah kesuksesan sebenarnya pulang—dalam bentuk yang paling manusiawi.
0 Comments